BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Perawat
dalam menjalankan perannya berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
manusia. Harahap (2005) mengemukakan bahwa Salah satu kebutuhan dasar manusia
adalah oksigen. Menurut Mubarak dkk
(2008) Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang paling vital dalam
kehidupan manusia. Dalam tubuh, oksigen berperan penting di dalam proses
metabolisme sel. Kekurangan oksigen akan berdampak yang bermakna bagi tubuh,
salah satunya kematian. Karenanya, berbagai upaya perlu dilakukan untuk
menjamin agar kebutuhan dasar ini terpenuhi dengan baik. Untuk itu setiap
perawat harus paham dengan manifestasi tingkat pemenuhan oksigen pada pasien
serta mampu mengatasi berbagai masalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan
tersebut (Arief Bachtiar et al,2015).
Tubuh
kita mempunyai daya pertahanan untuk menjaga agar paru dan saluran napas kita
dapat berfungsi dengan baik (Andi Atssam Mappanyukki,2011). Oksigen memegang peranan penting dalam semua
proses tubuh secara fungsional serta kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang
paling utama dan sangat vital bagi tubuh (Imelda, 2009).
Oksigen
diperlukan sel untuk mengubah glukosa menjadi energi yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktivitas, seperti aktivitas fisik, penyerapan makanan,
membangun kekebalan tubuh, pemulihan kondisi tubuh, juga penghancuran beberapa
racun sisa metabolisme (Nikmawati, 2006). Pemeliharaan oksigenasi jaringan
tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskuler, hematologi, dan
respirasi. Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme (Sudoyo
et al, 2009).
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah dijelaskan di atas maka penulisan merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa
Saja Sistem Tubuh yang Berperan Dalam Kebutuhan Oksigenasi?
2. Bagaimana
Proses oksigenasi?
3. Apa
saja Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi?
4. Apa
saja Gangguan atau masalah kebutuhan oksigenasi?
5. Bagaimana
Asuhan Keperawatan Pada Masalah Kebutuhan Oksigenasi?
1.3. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memenuhi Tugas Ilmu Dasar Keperawatan IV
2. Untuk
mengetahui Sistem Tubuh yang Berperan Dalam Kebutuhan Oksigenasi
3. Untuk
memahami Proses oksigenasi
4. Untuk
mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi
5. Untuk
mengetahui Gangguan atau masalah kebutuhan oksigenasi
6. Untuk
mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Masalah Kebutuhan Oksigenasi
1.4.
Metode Penulisan
Metode
yang penulis gunakan dalam menulis makalah ini, yaitu :
1. Metode Kepustakaan adalah metode
pengumpulan data yang digunakan penulis dengan mempergunakan buku atau
referensi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas.
2. Metode Media Informatika adalah
metode dengan mencari data melalui situs-situs di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Tinjauan
Pustaka
Oksigenasi
adalah proses penambahan oksigen O2 ke dalam sistem (kimia atau fisika).
Oksigenasi merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang sangat dibutuhkan
dalam proses metabolisme sel. Sebagai hasilnya, terbentuklah karbon dioksida,
energi, dan air. Akan tetapi penambahan CO2 yang melebihi batas normal pada
tubuh akan memberikan dampak yang cukup bermakna terhadap aktifitas sel
(Wahit Iqbal Mubarak, 2007).
(Wahit Iqbal Mubarak, 2007).
Oksigen adalah
salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme untuk mempertahankan
kelangsungan hidup seluruh sel-sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh
dengan cara menghirup O2 ruangan setiap kali bernapas (Wartonah Tarwanto, 2006).
Oksigenasi
merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar yang digunakan untuk kelangsungan
metabolisme sel tubuh, mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ dan
sel tubuh. Keberdaan oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital
dalam proses metabolism dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh
sel-sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup O2
setiap kali bernapas dai atmosfe. Oksigen (O2) untuk kemudian diedarkan
keseluruh jaringan tubuh (Andarmoyo,2012).
1.2. Sistem
Tubuh yang Berperan Dalam Kebutuhan Oksigenasi
Musrifatul
& Hidayat (2015) berpendapat bahwa Sistem pernapasan dalam pemenuhan
kebutuhan oksigenasi sistem terdiri atas saluran pernapasan bagian atas,
saluran pernapasan bagian bawah dan paru-paru.
1. Saluran
pernapasan bagian atas
Saluran
pernapasan bagian atas terdiri atas hidung, faing, laring, dan epiglottis.
Saluran ini berfungsi dalam menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara
yang dihirup.
a.
Hidung
Proses
oksigenasi diawali dengan masuknya udara melalui hidung. Pada hidung terdapat
naes anterio yang mengandung kelenjar sebaseus dan ditutupi oleh rambut yang
kasar. Bagian ini bermuara ke rongga hidung,sebagai bagian hidung lainnya, yang
dilapisi oleh selaput lendir dan mengandung pembuluh darah. Udara yang masuk melalui
hidung akan disaring oleh rambut yang ada didalam vestibulum (sebagai bagian
dari rongga hidung) kemudian udaa tesebut akan dihangatkan dan dilembapkan.
b.
Faring
Faring
merupakan pipa berotot yang terletak dari dasar tengkoak sampai dengan
esophagus. Berdasakan letaknya, faring dibagi menjadi tiga, yaitu nasofaring,
(dibelakang hidung), orofaring (dibelakang mulut), dan laringofaring
(dibelakang laring).
c.
Laring
(Tenggorokan)
Laring
merupakan saluran pernapasan setelah faring. Laring terdiri atas bagian dari
tulang rawan yang diikat bersama ligament dan membran dengan dua lamina yang
bersambung digaris tengah.
d.
Epiglottis
Epiglottis
merupakan katup tulang rawan yang bertugas menutup laring saat proses menelan.
2. Saluran
Pernapasan Bagian Bawah
Saluran pernapasan bagian bawah terdiri atas
trakhea, bronkhus, segmen bronchi, dan bronkiolus. Saluran ini berfungsi
mengalirkan udara dan memproduksi surfaktan.
a.
Trakhea
Trakhea (batang tenggorokan) merupakan
kelanjutan dari laing sampai kira-kira ketinggian vertebrae toakalis kelima.
Trakhea memiliki panjang ± 9 cm dan tersusun atas 16-20 lingkaran tak lengkap
yang berupa cincin. Trakhea dilapisi oleh selaput lendir dan terdapat epitelium
besilia yang bisa mengeluakan debu atau benda asing.
b.
Bronkhus
Bronkhus meupakan kelanjutan dari
trakhea yang bercabang menjadi bronkhus kanan dan kiri. Bonkhus bagian kanan
lebih pendek dan lebar daripada bagian kiri. Bronkhus kanan memiliki tiga
lobus, yaitu lobus atas, tengah, dan bawah. Sementara bronkhus kiri lebih
panjang daripada bagian kanan dengan dua
lobus, yaitu lobus atas dan bawah.
c.
Bronkiolus
Bronkiolus merupakan saluran
percabangan setelah bronkhus.
3. Paru-Paru
Paru-Paru
merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Paru-paru terletek didalam
rongga toraks setinggi tulang selangka sampai dengan diafragma. Paru-paru
terdiri atas dua bagian, yaitu paru-paru kanan dan kiri. Pada bagian tengah
dari organ tersebut terdapat organ jantung yang berbentuk kerucut beserta
pembuluh daahnya. Bagian puncak paru-paru disebut apeks.
Paru-paru
terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura. Pleura tersebut ada
dua macam yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Diantara kedua pleura
tersebut terdapat cairan pleura yang berisi cairan surfaktan. Keberadaan caian
tersebut ditujukan untuk melindungi paru-paru. Paru-paru memiliki jaringan yang
bersifat elastis dan berpori. Paru-paru befungsi sebagai tempat pertukaan gas
oksigen dan karbondioksida.
1.3. Proses
oksigenasi
Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi
didalam tubuh terdiri atas tiga tahapan, yaitu ventilasi, difusi, dan
tansportasi.
1. Ventilasi
Proses
ini merupakan poses kelua dan masuknya oksigen dai atmosfer kedalam alveoli
atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ventilasi ini dipengaruhi oleh bebeapa
factor, antara lain sebagai berikut.
a.
Adanya
konsentrasi oksigen diatmosfer. Semakin tingginya suatu tempat, maka tekanan
udaranya semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tempat
tesebut maka tekanan udaranya semakin tinggi.
b.
Adanya
kondisi jalan napas yang baik. Jalan napas tersebut dimulai dari hidung hingga
alveoli yang terdiri atas berbagai otot polos yang kerjanya sangat dipengaruhi
oleh sistem saraf otonom. Sistem saraf tersebut tediri atas sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Tejadinya rangsangan simpatis dapat menyebabkan
relaksasi dapat terjadi vasodilatasi, sedangkan kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan
konstriksi sehingga dapat menyebabkan vasokonstriksi atau proses penyempitan.
Adapun baiknya kondisi jalan napas dapat disebabkan pleh adanya peran mukus
siliaris sebagai penangkal benda asing yang mengandung interveron dan dapat
mengikat virus . Selain itu, baiknya kondisi jalan napas juga dipengaruhi oleh
adanya refleks batuk dan muntah.
c.
Adanya
kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru dalam melaksanakan ekspansi atau
kembang kempis. Kemampuan paru-paru untuk mengambang disebut dengan compliance.
Sementara recoil adalah kemampuan mengeluarkan CO2 atau kontraksinya paru-paru.
Apabila compliance baik, tetapi recoil terganggu, maka gas CO2 tidak dapat
keluar secara maksimal. Compliance dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
adanya surfaktan dan adanya sisa udara. Surfaktan pada lapisan alveoli
diproduksi saat terjadi peregangan sel alveoli, dan disekresi saat pasien
menarik napas. Surfaktan tersebut berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan. Sementara adanya sisa udara menyebabkan tidak terjadinya kolaps dan
gangguan toraks.
Pusat pernapasan, yaitu medulla
oblongata dan pons, dapat dipengaruhi oleh proses ventilasi. Hal tersebut
karena CO2 memiliki kemampuan merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2
dalam batas 60 mmHg dapat dengan baik merangsang pusat pernapasan. Bila PaCO2 ≤
80 mmHg, maka dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan
2. Difusi
Difusi gas merupakan pertukaran antara
O2 dari alveoli ke kapiler paru-paru dan CO2 dari kapiler ke alveoli. Proses
pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
a.
Luasnya
permukaan paru-paru
b.
Tebal
membran respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan
interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses
penebalan. Makin tebal membran, maka proses difusi makin sulit.
c.
Perbedaan
tekanan dan konsentrasi O2. Hal ini dapat terjadi sebagaimana O2 dari alveoli
masuk kedalam secara berdifusi kaena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih
tinggi daipada tekanan O2 dalam darah vena pulmonali. Sementara CO2 dari arteri
pulmonali akan berdifusi kedalam alveoli.
d.
Afinitas
gas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling mengikat Hb.
3. Transportasi
Transportasi gas merupakan proses
pendistribusian antara O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke
kapiler. Pada proses transportasi,O2 akan berikatan dengan Hb membentuk
oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%). Sementara CO2 akan berikatan
dengan membentuk karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%) dan sebagai
manjadi HCO3 berada dalam darah (65%). Transportasi gas dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya sebagai berikut.
a.
Curah
jantung, yang dapat dinilai melalui isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung
b.
Kondisi
pembuluh darah, latihan, dan aktivitas seperti olahraga, dan lain-lain.
1.4. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi
1. Saraf
otonom
Rangsangan simpatis dan parasimpatis
dari saraf otonom dapat mempengaruhi kemampuan untuk dilatasi dan konstriksi.
Hal ini dapat terlihat ketika terjadi rangsangan baik oleh simpatis maupun
parasimpatis. Ujung saraf dapat mengeluarkan neurotransmiter (simpatis
mengeluarkan noradrenalin yang berpengaruh pada bronkhodilatasi sedangkan
parasimpatis mengeluarkan asetilkolin yang berpengauh pada bronkhokonstriksi)
karena terdapat reseptor adrenergik dan reseptor kolinergik pada saluran
pernapasan.
2. Hormonal
dan Obat
Semua hormon termasuk derivate
katekolamin yang dapat melebarkan saluran pernapasan. Obat yang tergolong
parasimpatis dapat melebarkan saluran napas, seperti sulfas Atropin. Ekstrak
Belladona dan obat yang menghambat adrenergik tipe beta (khususnya beta 2)
dapat mempersempit saluran napas (bronkhokonstriksi), seperti obat yang
tergolong beta bloker nonselektif.
3. Alergi
pada saluran napas
Banyak faktor yang menimbulkan keadaan
alergi antara lain debu, bulu binatang, serbuk benang sari bunga, kapuk,
makanan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan bersin apabila ada
rangsangan didaerah nasal, batuk apabila rangsangannya disaluran napas bagian
atas, bronkhokonstriksi terjadi pada asma bronkhiale, dan rhinitis jika
rangsangannya terletak di saluran napas bagian bawah.
4. Faktor
perkembangan
Tahap perkembangan anak dapat
mempengaruhi jumlah kebutuhan oksigenasi karena usia organ didalam tubuh
seiring dengan usia perkembangan anak. Hal ini dapat terlihat pada bayi usia
pematur dengan adanya kecenderungan kurang pembentukan surfaktan. Setelah anak
tumbuh menjadi dewasa, kematangan organ terjadi seiring dengan bertambahnya usia.
5. Faktor
lingkungan
Kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi kebutuhan oksigenasi, seperti faktor alergi, ketinggian, dan suhu.
Kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan adaptasi.
6. Faktor
perilaku
Perilaku yang dimaksud di antaranya
adalah perilaku dalam mengonsumsi makanan (status nutrisi), aktivitas yang
dapat meningkatkan kebutuhan oksigenasi, merokok, dan lain-lain. Perilaku dalam
mengonsumsi makanan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan oksigenasi,
seperti obesitasnya seseorang yang mempengaruhi proses perkembangan paru-paru.
Sementara merokok dapat menyebabkan proses penyempitan pada pembuluh darah.
1.1. Gangguan
atau masalah kebutuhan oksigenasi
1. Hipoksia
Hipoksia merupakan kondisi tidak
tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat defisiensi oksigen
atau peningkatan penggunaan oksigen ditingkat sel, sehingga dapat munculkan
tanda seperti kulit kebiruan (sianosis). Secara umum, terjadinya hipoksia ini
disebabkan oleh menurunnya kadar Hb, menurunnya difusi O2 dari alveoli kedalam
darah menurunnya perfusi jaringan, atau gangguan ventilasi yang dapat
menurunkan konsentrasi oksigen. Salah satu cara mengatasi hipoksia dengan
pemberian Nasal prong. Berdasarkan hasil penelitian setelah pemberian
oksigenasi nasal prong selama 30 menit,berada dalam kondisi normal dengan
saturasi oksigen 95%-100%. Semakin lama pemberian oksigenasi nasal prong semakin
meningkatkan saturasi oksigen (Febriyanti
W.Takatelide et al, 2017).
2. Perubahan
pola pernapasan
a.
Takipnea
merupakan pernapasan dengan frekuensi lebih dai 24 kali per menit. Proses ini
terjadi karena paru-paru dalam keadaan atelektaksis atau terjadi emboli.
b.
Bradipnea
merupakan pola pernapasan yang lambat abnormal, yaitu ±10 kali per menit. Pola
ini dapat ditemukan dalam keadaan peningkatan tekanan intrakranial yang
disertai narkotik atau sedatif.
c.
Hiperventilasi
merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme tubuh yang terlampau tinggi
dengan pernapasan lebih cepat dan dalam sehingga terjadi peningkatan jumlah
oksigen dalam paru-paru. Proses ini ditandai adanya peningkatan denyut nadi,
napas pendek, adanya nyeri dada, menurunnya konsentrasi CO2, dan lain-lain.
Keadaan demikian dapat disebabkan oleh adanya infeksi, ketidakseimbangan asam
basa, atau gangguan psikologis. Pasien dengan hiperventilasi dapat mengalami
hipokapnea, yaitu berkurangnya CO2 tubuh di bawah batas normal sehingga rangsangan
terhadap pusat pernapasan menurun.
d.
Kussmaul
merupakan pola pernapasan cepat dan dangkal yang dapat ditemukan pada orang
dalam keadaan asidosis metabolik.
e.
Hipoventilasi
merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan karbondioksida dengan cukup pada saat
ventilasi alveolar, serta tidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli
dalam penggunaan oksigen. Tidak cukupnya oksigen untuk digunakan ditandai
dengan adanya nyeri kepala, penurunan kesadaran, disorientasi atau
ketidakseimbangan elektrolit yang dapat terjadi akibat atelektasis, otot-otot
pernapasan lumpuh, depresi pusat pernapasan, peningkatan tahanan jalan udara
pernapasan, penurunan tahanan jaringan paru-paru dan toraks, serta penurunan
compliance paru-paru dan toraks. Keadaan demikian menyebabkan hiperkapnea,
yaitu retensi CO2 dalam tubuh sehingga PaCO2 meningkat (akibat hipoventilasi)
dan akhirnya mengakibatkan depresi susunan saraf pusat.
f.
Dispnea
merupakan sesak dan berat saat pernapasan. Hal ini disebabkan oleh perubahan
kadar gas dalam darah atau jaringan, kerja berat atau berlebihan, dan pengaruh
psikis.
g.
Ortopnea
merupakan kesulitan bernapas kecuali dalam posisi duduk atau berdiri dan pola
ini sering ditemukan pada seseorang yang mengalami kongensif paru-paru.
h.
Cheyne
Stokes merupakan siklus pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian
menurun dan berhenti, lalu pernapasan dimulai lagi dari siklus baru. Periode
apnea berulang secara teratur.
i.
Pernapasan
paradoksial merupakan pernapasan yang dinding paru-paru bergerak belawanan arah
dari keadaan nomal. Sering ditemukan pada keadaan atelektasis.
j.
Biot
merupakan pernapasan dengan irama yang mirip dengan cheyne stokes, tetapi
amplitudonya tidak teratur. Pernapasan ini ditandai dengan periode apnea tidak
beraturan, bergantian dengan periode pengambilan empat atau lima napas yang
kedalamannya sama. Pola ini sering dijumpai pada pasien dengan radang selaput
otak, peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala, dan lain-lain.
k.
Stridor
merupakan pernapasan bising yang terjadi karena penyempitan pada saluran
pernapasan. Pada umumnya ditemukan pada kasus spasme trrakhea atau obstruksi
laring.
3. Obstruksi
jalan napas
Obstruksi jalan napas merupakan suatu
kondisi pada individu dengan pernapasan yang mengalami ancaman, terkait dengan
ketidakmampuan batuk secara efektif. Hal ini dapat disebabkan oleh secret yang
kental atau berlebihan akibat penyakit infeksi, immobilisasi, statis sekresi,
serta batuk tidak efektif karena penyakit persarafan seperti cerebro vascular accident (CVA), akibat
efek pengobatan sedatif, dan lain-lain. Tanda klinisnya antara lain sebagai
berikut.
a.
Batuk
tidak efektif atau tidak ada.
b.
Tidak
mampu mengeluarkan secret dijalan napas.
c.
Suara
napas menunjukkan adanya sumabatan.
d.
Jumlah,
irama, dan kedalamannya pernapasan tidak normal.
4. Pertukaran
gas
Pertukaran gas merupakan suatu kondisi
pada individu yang mengalami penurunan gas, baik oksigen maupun karbondioksida,
antara lain alveoli paru-paru dan sistem vaskuler. Hal ini dapat disebabkan
oleh sekret yang kental atau immobilisasi akibat penyakit sistem saraf, depresi
susunan saraf pusat, atau penyakit radang pada paru-paru. Terjadinya gangguan
dalam pertukaran gas ini menunjukkan bahwa penurunan kapasitas difusi dapat
menyebabkan pengangkutan O2 dari paru-paru ke jaringan terganggu,
anemia dengan segala macam bentuknya, keracunan CO2, dan
terganggunya aliran darah. Penurunan kapasitas difusi tersebut antara lain
disebabkan oleh menurunnya luas permukaan difusi, menebalnya membran alveolar
kapiler, dan rasio ventilasi perfusi yang tidak baik. Tanda klinisnya antara
lain sebagai berikut.
a.
Dispnea
pada usaha napas.
b.
Napas
dengan bibir pada fase ekspirasi yang panjang.
c.
Agitasi.
d.
Lelah,letargi.
e.
Meningkatnya
tahanan vaskuler paru-paru.
f.
Menurunnya
saturasi oksigen dan meningkatnya PaCO2.
g.
Sianosis.
1.2. Asuhan
Keperawatan Pada Masalah Kebutuhan Oksigenasi
Menurut Hidayat
(2013) Asuhan Keperawatan Pada Masalah Kebutuhan Oksigenasi sebagai beikut :
1. Pengkajian
Keperawatan
A. Riwayat
Keperawatan
Pengkajian riwayat keperawatan pada masalah kebutuhan
oksigen meliputi ada tidaknya riwayat gangguan pernapasan (gangguan hidung dan
tenggorokan), seperti epistaksis (kondisi akibat luka/kecelakaan, penyakit
rematik akut, sinusitis akut, hipertensi, gangguan pada sistem peredaran darah,
dan kanker), obstruksi nasal (kondisi akibat polip, hipertrofi tulang hidung,
tumor, dan influenza), dan keadaan lain yang menyebabkan gangguan pernapasan.
Pada tahap pengkajian keluhan atau gejala, hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah keadaan infeksi kronis dari hidung, sakit pada daerah sinus, otitis
media, keluhan nyeri pada tenggorokan, kenaikan suhu tubuh hingga sekitar 38,5oC,
sakit kepala, lemas, sakit perut hingga muntah-muntah (pada anak-anak), faring
berwarna merah, dan adanya edema.
a.
Pola
Batuk dan Produksi Sputum
Tahap pengkajian pola batuk dilakukan dengan cara menilai
apakah batuk termasuk batuk kering, keras dan kuat dengan suara mendesing,
berat dan berubah-ubah seperti kondisi pasien yang mengalami penyakit kanker.
Juga dilakukan pengkajian apakah pasien mengalami sakit pada bagian tenggorokan
saat batuk kronis dan produktif serta saat pasien sedang makan, merokok atau
saat malam hari. Pengkajian terhadap lingkungan tempat tinggal pasien (apakah
berdebu, penuh asap, dan adanya kecenderungan mengakibatkan alergi) perlu
dilakukan. Pengkajian sputum dilakukan dengan cara memeriksa warna, kejernihan,
dan apakah bercampur darah terhadap sputum yang dikeluarkan oleh pasien.
b.
Sakit
dada
Pengkajian terhadap sakit dada dilakukan untuk mengetahui
bagian yang sakit, luas, intensitas, faktor yang menyebabkan rasa sakit,
perubahan nyeri dada apabila posisi pasien berubah, serta ada atau tidaknya
hubungan antara waktu inspirasi dan ekspirasi dengan rasa sakit.
B. Pengkajian
fisik
1. Inspeksi. Pengkajian ini meliputi sebagai
berikut.
a.
Penentuan
tipe jalan napas, seperti menilai apakah napas spontan melalui oral, nasal,
atau menggunakan selang endotrakeal atau trakeostomi, kemudian menentukan
status kondisi seperti kebersihan, ada tidaknya skeet, perdarahan, bengkak,
atau obstruksi mekanik.
b.
Penghitungan
frekuensi pernapasan dalam waktu satu menit. Umumnya, wanita bernapas sedikit
lebih cepat. Apabila kurang dari sepuluh kali per menit pada orang dewasa,
kurang dari 20 kali per menit pada anak-anak, atau kurang dari 30 kali per
menit pada bayi, maka disebut sebagai bradipnea atau pernapasan lambat. Gejala
ini juga dijumampai pada keracunan obat golongan barbiturat, uremia, koma
diabetes, miksedema, dan proses desak ruang intrakranium. Bila lebih dari 20
kali per menit pada orang dewasa, kurang dari 30 kali per menit pada anak-anak,
atau kurang dari 50 kali per menit pada bayi, maka disebut sebagai takipnea
atau pernapasan cepat.
c.
Pemeriksaan
sifat pernapasan, yaitu torakal, abdominal, atau kombinasi keduanya. Pernapasan
torakal atau dada adalah untuk menilai sifat pernapasan, seperti mengembang dan
mengempisnya rongga toraks sesuia dengan irama inspirasi dan ekspirasi.
Pernapasan abdominal atau perut adalah seiramanya inspirasi dengan mengembanganya
perut dan ekspirasi dengan mengempisnya perut. Selain itu, mengembang dan
mengempisnya paru juga diatur oleh pergerakan diafragma. Sifat pernapasan
khususnya pada neonates umumnya adlah abdominal atau torakoabdominal, karena
otot intercostal masih lemah.
d.
Pengkajian
irama pernapasan, yaitu dengan menelaah masa inspirasi dan ekspirasi. Pada
orang dewasa yang sehat, irama pernapasannya teratur dan menjadi cepat jika
terjadi pengeluaran tenaga dalam keadaan terangsang atau emosi. Kemudian, yang
perlu diperhatikan pada irama pernapasan adalah perbandingan antara inspirasi
dan ekspirasi. Pada keadaan normal, perbandingan antara frekuensi pernapasan
dengan frekuensi nadi 1 : 1, sedangkan pada keracunan obat golongan babiturut
perbandingannya menjadi 1 : 6. Penyimpanan irama pernapasan, seperti pernapasan
kussmaul, dijumpai pada keracunan alkohol, obat bius, koma diabetes, uremia,
dan proses desak ruang intrakranium. Pernapasan biot ditemukan pada pasien
kerusakan otak. Pernapasan cheyne stokes dapat ditemui pada pasien keracunan
obat bius, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal kronis, dan
perdarahan pada susunan saraf pusat.
e.
Pengkajian
terhadap dalam/dangkalnya pernapasan. Pada pernapasan yang dangkal, dinding
toraks tampak hamper tidak bergerak. Gejala ini timbul jika terdapat emfisema
atau jika pergerakan dinding toraks menimbulkan rasa sakit dan juga jika pada
rongga toraks terjadi proses detak ruang, seperti penimbunan cairan dalam
rongga pleura dan pericardium serta konsolidasi yang dangkal dan lambat.
2. Palpasi. Pemeriksaan ini berguna umtuk
mendeteksi kelainan, seperti nyeri tekan yang dapat timbul akibat luka,
peradangan setempat, metastatis tumor ganas, pleuritis, atau pembengkakan dan
benjolan pada dada. Palpasi dilakukan untuk menentukan besa, konsisten, suhu,
apakah dapat atau tidak digerakkan dari dasarnya. Melalui palpasi dapat
diteliti gerakan dinding toraks pada saat inspirasi dan ekspirasi terjadi. Cara
ini juga dapat dilakukan dari belakang dengan meletakkan kedua tangan pada
kedua sisi tulang belakang. Jika pada puncak paru terdapat fibrosis, proses
tuberculosis, atau suatu tumor, maka tidak akan ditemukan pengembangan bagian
atas pada toraks.
Kelainan pada paru, seperti getaran
suara atau fremitus vokal, dapat dideteksi bila terdapat getaran sewaktu pemeriksa
meletakkan tangannya pada dada pasien ketika ia berbicara. Fremitus vokal yang
jelas mengeras dapat disebabkan oleh konsolodasi paru seperti pada pneumonia
lobaris, tuberculosis kaseosa pulmonum, tumor paru, atelektasis, atau kolaps
paru dengan bronkus yang utuh dan tidak tersumbat, kavitasi yang letaknya dekat
permukaan paru. Fremitus vokal menjadi lemah atau hilang sama sekali jika
rongga pleura berisi air, darah, nanah, atau udara, bahkan jaringan pleura
menjadi tebal, bronkus tersumbat, jaringan paru tidak lagi elastis (emfisema),
paru menjadi fibrosis, dan terdapat kaverna dalam paru yang letaknya jauh dari
permukaan. Getaran yang terasa oleh tangan pemeriksaan dapat juga ditimbulkan
oleh dahak dalam bronkus yang bergetar pada waktu inspirasi dan ekspirasi atau
oleh pergeseran antara kedua membrane pleura pada pleuritis.
3. Perkusi. Pengkajian ini bertujuan untuk
menilai normal atau tidaknya suara pekusi paru. Suara perkusi normal adalah
suara perkusi sonor, yang bunyinya seperti kata “dug-dug”. Suara perkusi lain
yang dianggap tidak normal adalah redup, seperti pada infiltrate, konsolidasi,
dan efusi pleura. Pekak, seperti suara yang terdengar bila kita perkusi paha
kita, terdapat pada rongga pleura yang terisi oleh cairan nanah, tumor pada
permukaan paru, atau fibrosis paru dengan penebalan pleura. Hipersonor, bila
udara relative lebih padat, ditemukan pada emfisema, kavitas besar yang
letaknya perifer, dan pneumotoraks. Timpani, bunyinya seperti ucapan
“dang-dang-dang”. Suara ini menunjukkan bahwa dibawah tempat yang diperkusi
terdapat penimbunan udara, seperti pada pneumotoraks dan kavitas dekat
permukaan paru.
Batas atas paru dapat ditemukan dengan
perkusi pada supraklavikularis kedua sisi. Bila didapatkan suara perkusi yang
kurang sonor, maka kita harus menafsirkan bahwa bagian atas paru tidak
berfungsi lagi, dan berarti batas paru yang sehat terletak lebih bawah dari
biasa. Pada umumnya, hal ini menunjukkan proses tuberkulosis dipuncak paru.
Dari belakang, apeks paru dapat diperkusi didaerah otot trapezius antara otot
leher dan pergelangan bahu yang akan memperdengarkan seperti sonor. Batas bawah
paru dapat ditentukan dengan perkusi, yakni suara sonor pada orang sehat dapat
didengar sampai iga keenam garis midaksilaris, iga kedelapan garis midaksilaris,
dan iga kesepuluh garis skapularis. Batas bawah paru pada orang tua agak lebih
rendah, sedangkan pada anak-anak agak lebih tinggi. Batas bawah meninggi pada
proses fibrosis paru, konsolidasi, efusi pleura, dan asites tumor
intraabdominal. Turunnya batas bawah paru didapati pada emfisema dan
pneumotoraks.
4. Auskultasi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menilai adanya suara napas, diantaranya suara napas dasar dan suara napas
tambahan. Suara napas dasar adalah suara napas pada orang dengan paru yang sehat,
seperti sebagai berikut.
a.
Suara
Vesikuler, ketika suara inspirasi lebih keras dan lebih tinggi nadanya. Bunyi
napas vesikuler yang disertai ekspirasi memanjang terjadi pada emfisema. Suara
vesikuler dapat didengar pada sebagian paru.
b.
Suara
bronkial, yaitu suara yang bisa kita dengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi,
bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara inspirasi dan ekspirasi terdenga
jarak pause (jeda) yang jelas. Suara
bronkial terdengar didaerah trakea dekat bronkus, dalam keadaan tidak normal
bisa terdengar seluruh daerah paru.
c.
Suara
bronkovaskular, yaitu suara yang terdengar antara vesikuler dan bronkial,
ketika ekspirasi menjadi lebih panjang, hingga hamper menyamai inspirasi. Suara
ini lebih jelas terdengar pada manubrium sterni. Pada keadaan tidak normal juga
terdengar pada daerah lain dari paru.
Suara napas tambahan, yaitu suara yang
terdengar pada dinding toraks berasal dari kelainan dalam paru, termasuk
bronkus, alveoli, dan pleura. Suara napas tambahan seperti suara ronki, yaitu
suara yang terjadi dalam bronkus karena penyempitan lumen bronkus. Suara mengi (wheezing) yaitu ronki kering yang
tinggi, terputus nadanya, dan panjang, terjadi pada asma. Suara ronki basah,
yaitu suara berisik yang terputus akibat aliran udara yang melewati cairan
(ronki basah, halus, sedang, atau kasar bergantung pada besarnya bronkus yang
terkena dan umumnya terdengar pada inspirasi). Sementara itu, suara krepitasi
adalah suara seperti hujan rintik-rintik yang berasal dari bronkus, alveoli,
atau kavitasi yang mengandung cairan. Suara ini dapat kita tiru dengan jalan
menggeser-geserkan rambut dengan ibu jari dan telunjuk dekat telinga. Krepitasi
halus menandakan adanya eksudat dalam alveoli yang membuat alveoli saling
berdekatan, misalnya pada stadium dini pneumonia. Krepitasi kasar, terdengar
seperti suara yang timbul bila kita meniup dalam air. Suara ini terdengar
selama inspirasi dan ekspirasi. Gejala ini dijumpai pada bronkitis.
C. Pemeriksaan
Laboratorium
Selain
pemeriksaan laboratorium Hb, leukosit, dan lain-lain yang dilakukan secara
rutin, juga dilakukan pemeriksaan sputum guna melihat kuman dengan cara
mikroskopis. Uji resistensi dapat dilakukan secara kultur, untuk melihat sel
tumor dengan pemeriksaan sitology. Bagi pasien yang menerima pengobatan dalam
waktu lama, harus dilakukan pemeriksaan sputum secara periodik.
D. Pemeriksaan
diagnosik
1. Rontgen
Dada. Penapisan yang
dapat dilakukan, misalnya untuk melihat lesi paru pada penyakit tuberculosis,
mendeteksi adanya tumor, benda asing, pembengkakan paru, penyakit jantung, dan
untuk melihat stuktur yang abnormal. Juga penting untuk melengkapi pemeriksaan
fisik dengan gejala yang tidak jelas, sehingga dapat menentukan besarnya
kelainan, lokasi, dan keadaannya, misalnya kelainan jaringan dan tulang pada
dinding toraks, diafragma yang abnormal, kemampuan berkembang diafragma pada
waktu respirasi, dan keadaan abnormal posisi jantung. Ukuran jantung dan
sekitarnya (daerah mediastinum), trakeobronkial yang abnormal, penebalan
pleura, adanya cairan pleura, keadaan abnormal dari ukuran paru, serta
distribusi yang abnormal dari arteri dan vena pulmonalis.
2. Fluoroskopi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui mekanisme kardiopulmonum, misalnya kerja jantung, diafragma, dan
kontraksi paru.
3. Bronkografi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
melihat secara visual bronkus sampai dengan cabang bronkus pada penyakit
gangguan bronkus atau kasus displacement
dari bronkus.
4. Angiografi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
membantu menegakkan diagnosis tentang keadaan paru, emboli atau tumor paru,
aneurisma, emfisema, kelainan konginetal, dan lain-lain.
5. Endoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
melakukan diagnostic dengan cara mengambil sekret untuk pemeriksaan, melihat
lokasi kerusakan, biopsi jaringan untuk pemeriksaan sitology, mengetahui adanya
tumor, melihat letak terjadinya perdarahan, untuk teraupetik, misalnya
mengambil benda asing dan menghilangkan sekret yang menutupi lesi.
6. Radio
Isotop. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menilai lobus paru, melihat adanya emboli paru. Ventilasi
scanning untuk mendeteksi ketidaknormalan ventilasi, misalnya pada emfisema.
Scanning gallium untuk mendeteksi peradangan pada paru. Pada keadaan normal,
paru hanya menerima sedikit atau sama sekali tidak gallium yang lewat, tetapi
gallium sangat banyak terdapat pada infeksi.
7. Mediastinoskopi. Mediastinoskopi merupakan endoskopi
mediastinum untuk melihat penyebaran tumor. Mediastinostomi bertujuan untuk
memerika mediastinum bagian depan dan menilai aliran limpa pada paru, biasanya
dilakukan pada penyakit saluran pernapasan bagian atas.
2. Diagnosis
Keperawatan
Diagnosis
keperawatan yang kemungkinan terjadi pada masalah kebutuhan oksigenasi ,
sebagaimana dalam NANDA-Internasional 2012-2014, tersaji pada tabel sebagai
berikut.
Diagnosis
Keperawatan Yang Kemungkinan Terjadi Pada Masalah Kebutuhan Oksigen
Diagnosis Keperawatan
(Problem/P)
|
Faktor yang Berhubungan
(Etiologi/E)
|
Batasan Karakteristik (Data
Subjektif/ Objektif/ Symtom/ S)
|
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas (00031)
|
Faktor
obstruksi jalan napas, seperti spasme jalan napas, mukus yang berlebihan,
adanya eksudat dalam alveoli, sekresi dalam bronki, adanya benda asing.
Faktor
lingkungan, seperti mengisap asap, merokok.
Faktor
fisiologis, seperti jalan napas alergi, asma, penyakit paru obstruksi kronis,
infeksi, disfungsi neuromuscular, dan lain-lain
|
Adanya
suara napas tambahan, perubahan frekuensi napas, irama napas, sianosis,
kesulitan mengeluarkan suara, penurunan bunyi napas, dispnea, sputum yang
berlebih, batuk tidak efektif, ortopnea, dan gelisah.
|
Ketidakefektifan
pola napas (00032)
|
Kerusakan
neurologis, nyeri, keletihan otot pernapasan, cedera medulla spinalis,
hiperventilasi, deformitas dinding dada, ansietas, dan lain-lain.
|
Dispnea/Ortopnea/Takipnea,
fase ekspirasi memanjang, pernapasan cuping hidung, pernapasan bibir,
penggunaan otot aksesori untuk bernapas, perubahan kedalaman pernapasan,
penurunan ventilasi semenit, penurunan tekanan inspirasi, penurunan tekan
ekspirasi, dan lain-lain.
|
Gangguan
pertukaran gas (00030)
|
Ventilasi
perfusi dan perubahan membrane alveolar kapiler.
|
Dispnea,
pH darah arteri abnormal, pH arteri abnormal, kecepatan, irama, dan kedalaman
pernapasan yang abnormal, kulit abnormal, konfusi, sianosis, penurunan CO2,
diaphoresis, hiperkapnia, hipoksemia, hipoksia, napas cuping hidung, gelisah,
somnolen, takikardia.
|
Ketidakefektifan
perfusi jaringan jantung (00200)
|
Adanya
perubahan kontraktilitas, frekuensi jantung, afterload, preload, irama
jantung, dan volume sekuncup
|
Ansietas,
gelisah, adanya perubahan Irama atau frekuensi jantung seperti aritmia,
palpitasi, bradikardia, takikardia. Adanya perubahan preload yang ditandai dengan penurunan atau peningkatan tekanan
vena sentral, keletihan, distensi vena jugular, edema, penurunan atau
peningkatan pulmonary artery wedge
pressure. Adanya perubahan afterload,
seperti kulit lembap, dispnea, penurunan nadi, oliguria, perubahan warna
kulit, penurunan atau peningkatan pulmonary
vascular resistance atau systemic
vascular resistance. Adanya perubahan kontraktilitas, seperti batuk,
ortopnea, dispnea paroksismal nocturnal, penurunan indeks jantung, dan
lain-lain.
|
Gangguan
ventilasi spontan (00033)
|
Keletihan
otot pernapasan dan faktor metabolik
|
Adanya
penurunan PO2, SaO2, penurunan volume tidal, dispnea,
peningkatan frekuensi jantung, peningkatan PCO2, gelisah,
peningkatan laju metabolisme, ketakutan, dan lain-lain
|
3. Perencanaan
Keperawatan
A. Tujuan
1.
Mempertahankan
jalan napas agar efektif.
2.
Mempertahankan
pola pernapasan agar kembali efektif.
3.
Mempertahankan
pertukaran gas.
4.
Memperbaiki
perfusi jaringan.
B. Rencana
Tindakan
1.
Mempertahankan
jalan napas agar efektif.
a.
Awasi
perubahan status jalan napas dengan memonitor jumlah, bunyi, atau status
kebersihannya.
b.
Berikan
humidifier (pelembap).
c.
Lakukan
tindakan pembersihan jalan napas dengan fibrasi, clapping, atau postural
drainage (jika perlu lakukan suction)
d.
Ajarkan
teknik batuk yang efektif dan cara menghindari alergen.
e.
Pertahankan
jalan napas agar tetap terbuka dengan memasang jalan napas buatan, seperti oropharyngeal/nasopharyngeal airway, intubasi
endotrakea, atau trakeostomi sesuai dengan indikasi.
f.
Kerja
sama dengan tim medis dalam memberikan obat bronkodilatasi.
2.
Mempertahankan
pola pernapasan agar kembali efektif.
a.
Awasi
perubahan status pola pernapasan.
b.
Atur
posisi sesuai dengan kebutuhan (semifowler).
c.
Berikan
oksigenasi.
d.
Ajarkan
teknik bernapas dan relaksasi yang benar.
3.
Mempertahankan
pertukaran gas.
a.
Awasi
perubahan status pernapasan.
b.
Atur
posisi sesuai dengan kebutuhan (semifowler).
c.
Berikan
oksigenasi.
d.
Lakukan
suction bila memungkinkan.
e.
Berikan
nutrisi tinggi protein dan rendah lemak.
f.
Ajarkan
teknik bernapas dan relaksasi yang benar.
g.
Pertahankan
berkembangnya paru dengan memasang ventilasi mekanis, chest tube, dan chest
drainage sesuai dengan indikasi.
4.
Memperbaiki
perfusi jaringan.
a.
Kaji
perubahan tingkat perfusi jaringan (capillary
refill time).
b.
Berikan
oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
c.
Pertahankan
asupan dan pengeluaran.
d.
Cegah
adanya perdarahan.
e.
Hindari
terjadinya valsava maneuver seperti
mengedan, menahan napas, dan batuk.
f.
Pertahankan
perfusi dengan transfuse sesuai dengan indikasi.
4. Pelaksanaan
(Tindakan) Keperawatan
1. Latihan
napas
Latihan napas merupakan cara bernapas
untuk memperbaiki ventilasi alveoli atau memelihara pertukaran gas, mencegah
atelektaksis, meningkatkan efisiensi batuk, dan dapat mengurangi stress. Salah
satu latihan pernapasan untuk pemulihan paru yaitu Deep Breathing Exercises
(DBE). DBE merupakan upaya yang dianggap dapat meningkatkan fungsi paru
khususnya ventilasi oksigenasi, dan mencegah kegagalan pernapasan berulang
serta risiko atelektasis paru post ventilasi mekanik (Priyanto et al,2011).
Prosedur Kerja
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan.
c.
Atur
posisi (duduk atau tidur telentang).
d.
Anjurkan
untuk mulai latihan dengan cara menarik napas dahulu melalui hidung dengan
mulai tertutup.
e.
Kemudian
anjurkan pasien untuk menahan napas sekitar 1-1,5 detik dan disusul dengan
menghembuskan napas melalui bibir dengan bentuk mulut seperti orang meniup.
f.
Catat
respons yang terjadi.
g.
Cuci
tangan.
2. Latihan
batuk efektif
Latihan batuk efektif merupakan cara
melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif untuk
membersihkan jalan napas (laring, trakhea, dan bronkiolus) dan sekret atau
benda asing.
Prosedur kerja
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan.
c.
Atur
posisi pasien dengan duduk ditepi tempat tidur dan membungkuk ke depan.
d.
Anjurkan
untuk menarik napas, secara pelan dan dalam, dengan menggunakan pernapasan
diafragma.
e.
Setelah
itu, tahan napas selama ± 2 detik.
f.
Batukkan
2 kali dengan mulut terbuka.
g.
Tarik
napas dengan ringan.
h.
Istirahat.
i.
Catat
respon yang terjadi.
j.
Cuci
tangan.
3. Pemberian
Oksigen
Pemberian oksigen merupakan tindakan
memberikan oksigen kedalam paru-paru melalui saluran pernapasan dengan alat
bantu oksigen. Pemberian oksigen pada pasien dapat melalui tiga cara yaitu
melalui kanula, napas, dan masker. Pemberian oksigen tersebut bertujuan
memenuhi kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia. Tindakan
ini dilakukan untuk meningkatkan pasokan oksigen dan mengurangi kerja napas.
Pada dasarnya, terapi oksigen digunakan untuk membuat keseimbangan antara
pasokan oksigen dan kebutuhan oksigen (Bambang Pujo Semedi & Hardiono,
2012).
Dalam pemberian terapi oksigen, yang
harus diperhatikan adalah apakan indikasi dari terapi tersebut. Harahap (2004)
menyebutkan bahwa sebelum memberikan oksigen harus melihat indikasinya, seperti
pastikan bahwa kadar O2 arteri rendah dari hasil analisis gas darah,
adanya peningkatan kerja pernapasan, peningkatan kerja miokard. Hal tersebut
dapat dilihat pada beberapa kasus, seperti sianosis, hipovolemi, perdarahan,
asidosis, tidak sadar, anemia berat, keracunan CO2 dan selama serta
sesudah pembedahan. Selain indikasi tersebut dalam pemberian oksigen juga harus
memenuhi persyaratan, seperti adanya tahanan jalan napas yang rendah, tidak ada
penumpukan CO2, konsentrasi O2 udara inspirasi dapat
terkontrol, dan nyaman untuk pasien.
Pemberian oksigen pada pasien ada dua
cara, yaitu sistem aliran rendah dan sistem aliran tinggi. Sistem aliran rendah
diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Pemberian sistem aliran
rendah ini dapat diberikan pada pasien yang membutuhkan oksigen, namun masih
mampu bernapas dengan normal. Pemberian sistem ini dapat melalui kateter nasal,
kanula nasal, sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantung rebreathing, dan sungkup muka dengan
kantung non-rebreathing (Harahap,2004).
Dalam pemberian dengan cara sistem tersebut, memiliki dosis yang berbeda
begantung pada alat yang dipakai, seperti kateter nasal dapat diberikan dengan
aliran 1-6 L/menit dengan konsentrasi 24-44%. Kanula nasal dapat diberikan
dengan aliran 1-6 L/menit dengan konsentrasi 24-44%. Sungkup muka sedehana
dapat diberikan dengan aliran 5-8 L/menit dengan konsentrasi oksigen 40-60%.
Sungkup muka dengan kantong rebreathing dapat
diberikan dengan aliran 8-12 L/menit dengan konsentrasi tinggi 60-80%. Sungkup
muka dengan kantong non-rebreathing dapat
diberikan dengan aliran 8-12 L/menit dengan konsentrasi 99%
Pemberian oksigen dengan cara kedua
adalah pemberian oksigen dengan sistem aliran tinggi, yang dapat diberikan
melalui sungkup muka ventury dengan
aliran 4-14 L/menit dengan konsentrasi 30-55%.
Persiapan Alat dan Bahan
a.
Tabung
Oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidifier.
b.
Nasal
kateter, kanula, atau masker.
c.
Vaselin/lubrikan
atau pelumas (jelly).
Prosedur kerja
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan.
c.
Cek
flowmeter dan humidifier.
d.
Hidupkan
tabung oksigen.
e.
Atur
posisi semifowler atau posisi yang telah disesuaikan dengan kondisi pasien.
f.
Berikan
oksigen melalui kanula atau masker.
g.
Apabila
menggunakan kateter, ukur dulu jarak hidung dengan telinga, setelah itu beri
lubrikan dan masukkan.
h.
Catat
pemberian dan lakukan observasi.
i.
Cuci
tangan.
a.
penghisap.
b.
Lakukan
pengisapan lendir dengan memasukkan kateter pengisap ke dalam kom berisi
akuades atau NaCl 0,9% untuk mencegah trauma mukosa.
1. Fisioterapi
dada
Fisioterapi dada merupakan tindakan
melakukan postural drainage, clapping, dan
vibrating pada pasien dengan gangguan
sistem pernapasan untuk meningkatkan efisiensi pola pernapasan dan membersihkan
jalan napas.
Persiapan Alat dan bahan
a.
Pot
sputum berisi disifektan.
b.
Kertas
tisu.
c.
Dua
balok tempat tidur (untuk postural drainage).
d.
Satu
bantal (untuk postural drainage).
Prosedur kerja
1.
Postural drainage
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
c.
Miringkan
pasien kekiri (untuk membersihkan bagian paru-paru kanan).
d.
Miringkan
pasien kekanan (untuk membersihkan bagian paru-paru kiri).
e.
Miringkan
pasien kekiri dengan tubuh bagian belakang kanan disokong satu bantal (untuk
membersihkan bagian lobus tengah).
f.
Lakukan
postural drainage ±10-15 menit.
g.
Observasi
tanda vital selama prosedur.
h.
Setelah
pelaksanaan postural drainage, dilakukan clapping, vibrating, dan suction.
i.
Lakukan
hingga lendir bersih.
j.
Catat
respons yang terjadi.
k.
Cuci
tangan.
2.
Clapping
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
c.
Atur
posisi pasien sesuai dengan kondisinya.
d.
Lakukan
Clapping dengan cara kedua tangan perawat menepuk punggung pasien secara
bergantian hingga ada rangsangan batuk.
e.
Bila
pasien sudah batuk, berhenti sebentar dan ajukarkan untuk menampung sputum pada
pot sputum.
f.
Lakukan
hingga lendir bersih.
g.
Catat
respons yang terjadi.
h.
Cuci
tangan
3.
Vibrating
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
c.
Atur
posisi pasien sesuai dengan kondisinya.
d.
Lakukan
vibrating dengan menganjurkan pasien menarik napas dalam dan meminta pasien
untuk mengeluarkan napas perlahan-lahan. Untuk itu, letakkan kedua tangan
diatas bagian samping depan dari cekungan iga dan getarkan secara
perlahan-lahan. Hal tersebut dilakukan secara berkali-kali hingga pasien ingin
batuk dan mengeluarkan sputum.
e.
Bila
pasien sudah batuk, berhenti sebentar dan anjurkan untuk menampung sputum pada
pot sputum.
f.
Lakukan
hingga lendi bersih.
g.
Catat
respons yang terjadi.
h.
Cuci
tangan.
2. Pengisapan
lendir
Pengisapan lendir (suction) merupakan tindakan pada pasien yang tidak mampu
mengeluarkan sekret atau lendir secara sendiri. Tindakan tersebut dilakukan
untuk membersihkan jalan napas dan memenuhi kebutuhan oksigenasi.
Persiapan Alat dan Bahan
a.
Alat
pengisap lendir dengan botol yang berisi larutan disinfektan.
b.
Kateter
pengisap lendir.
c.
Pinset
steril.
d.
Sarung
tangan steril.
e.
Dua
kom berisi larutan akuades atau NaCl 0,9% dan larutan disinfektan.
f.
Kasa
steril.
g.
Kertas
tissue.
Prosedur kerja
a.
Cuci
tangan.
b.
Jelaskan
pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
c.
Atur
pasien dalam posisi telantang dan kepala miring kearah pesawat.
d.
Gunakan
sarung tangan.
e.
Hubungkan
kateter pengisap dengan slang pengisap.
f.
Hidupkan
mesin penghisap.
g.
Lakukan
pengisapan lendir dengan memasukkan kateter pengisap ke dalam kom berisi
akuades atau NaCl 0,9% untuk mencegah trauma mukosa.
h.
Masukkan
kateter pengisap dalam keadaan tidak mengisap.
i.
Tarik
lendir dengan memutar kateter pengisap sekitar 3-5 detik.
j.
Bilas
kateter dengan akuades atau NaCl 0,9%.
k.
Lakukan
hingga lendir bersih.
l.
Catat
respons yang terjadi.
m.
Cuci
tangan.
1. Evaluasi
Keperawatan
Evaluasi
terhadap masalah kebutuhan oksigen secara umum dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam hal sebagai berikut.
1.
Mempertahankan
jalan napas secara efektif yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk
bernapas, jalan napas bersih, tidak ada sumbatan, frekuensi, irama, dan
kedalaman napas normal, serta tidak ditemukan adanya tanda hipoksia.
2.
Mempertahankan
pola napas secara efektif yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk
bernapas, frekuensi, irama, dan kedalaman napas normal, tidak ditemukan adanya
tanda hipoksia, serta kemampuan paru berkembang dengan baik.
3.
Mempertahankan
pertukaran gas secara efektif yang ditujukan dengan adanya kemampuan untuk
bernapas, tidak ditemukan dispnea pada usaha napas, inspirasi dan ekspirasi
dalam batas normal, serta saturasi oksigen dan pCO2 dalam keadaan
normal.
4.
Meningkatkan
perfusi jaringan yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan pengisian kapiler,
frekuensi, irama, kekuatan nadi dalam batas normal, dan status hidrasi normal.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
mendasar yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh,
mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ dan sel tubuh.
Sistem pernapasan dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi
sistem terdiri atas saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian
bawah dan paru-paru. Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi didalam tubuh
terdiri atas tiga tahapan, yaitu ventilasi, difusi, dan tansportasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi adalah Saraf otonom,
Hormonal dan Obat, Alergi pada saluran napas, Faktor perkembangan, Faktor lingkungan,
Faktor perilaku. Adapun Gangguan atau masalah kebutuhan oksigenasi adalah
Hipoksia, Perubahan pola pernapasan, Obstruksi jalan napas,Pertukaran gas
Asuhan Keperawatan Pada Masalah Kebutuhan
Oksigenasi sebagai beikut Pengkajian Keperawatan (Riwayat Keperawatan,
Pengkajian fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi,Auskultasi), Pemeriksaan
Laboratorium, Pemeriksaan diagnosik (Rontgen Dada, Fluoroskopi, Bronkografi,
Angiografi, Endoskopi, Radio Isotop, Mediastinoskopi)). Diagnosis keperawatan
yang kemungkinan terjadi pada masalah kebutuhan oksigenasi, sebagaimana dalam
NANDA-Internasional 2012-2014. Perencanaan Keperawatan, Pelaksanaan (Tindakan)
Keperawatan (Latihan napas, Latihan batuk efektif, Pemberian Oksigen,
Fisioterapi dada, Pengisapan lendir) serta Evaluasi Keperawatan.
3.2. Saran
Semoga dengan pembuatan makalah ini, pembaca
dapat mengetahui bahwa Salah satu Kebutuhan Dasar Manusia adalah Oksigenasi
dimana sangat penting dalam kelangsungan hidup dan akan sangat berdampak jika
pemenuhannya terganggu dan tidak langsung ditangani. Dalam pembuatan makalah ini juga penulis
menyadari bahwa, dalam pembuatan, makalah masih terdapat banyak kesalahan
kekurangan serta kejanggalan baik dalam penulisan maupun dalam pengkonsepan
materi. Untuk itu, panulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar kedepan lebih baik dan penulis berharap kepada semua pembaca dapat
memahami infomasi yang penulis sampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi)
Konsep, Proses, dan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arief Bachtiar, N. H. (2015). Pelaksanaan Pemberian Terapi
Oksigen Pada Pasien Gangguan Sistem Pernafasan . Jurnal Keperawatan Terapan
Volume 1, Nomor 2, 48-52. Diakses di http://jurnal.poltekkes-malang.ac.id/berkas/d96f-48-52.pdf
Pada tanggal 22 Mei 2017
Bambang Pujo Semedi, H. (2012). Pemantauan Oksigenasi . Volume
2 Nomor 2, 85-93. Diakses di http://perdici.org/wp-ontent/uploads/mkti/2012-02-02/mkti2012-0202-085093.pdf
Pada tanggal 22 Mei 2017
Febriyanti W.Takatelide, Lucky T.Kumaat, Reginus.T Malara.
(2017). Pengaruh Terapi Oksigen Nasal Prong Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen
Pasien Cedera Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof.DR. R.D. Kandou Manado.
Diakses di https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/viewFile/14739/14308 Pada tanggal 24 Mei 2017
Herman. (2010). Pengaruh Latihan Terhadap Fungsi Otot Dan
Pernapasan. Volume 1 Nomor 2 , 27-32. Diakses di http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/7/universitas%20negeri%20makassar-digilib-unm-herman-321-1-4.herman.pdf Pada tanggal 31 Mei 2017
Hidayat, A. A. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
Mappanyukki, A. A. (2011). Komsumsi Oksigen Dalam Latihan. Jurnal
ILARA, Volume 1, Nomor 1, 1-9. Diakses di http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/7/universitas%20negeri%20makassar-digilib-unm-andiatssam-332-1-1.accan-k.pdf Pada tanggal 1 Juni 2017
Mubarak,
Wahit Iqbal. 2007. Buku ajar kebutuhan dasar manusia : Teori & Aplikasi
dalam praktek. Jakarta: EGC
Musrifatul Uliyah, A. A. (2015). Keterampilan Dasar
Praktik Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Priyanto, D. I. (2011). Peningkatan Fungsi Ventilasi
Oksigenasi Paru Klien Pasca Ventilasi Mekanik dengan Deep Breathing Exercise
(DBE). Jurnal Keperawatan Indonesia Volume 14, Nomor 1, 23-30. Diakses
di http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/53/53 Pada tanggal 25 Mei 2017
Tarwanto,
Wartonah. 2006. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan edisi 3.
Salemba:Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar